Senin, Agustus 13, 2012

Menjadi OrangTuanya Manusia




Judul buku      : Orangtuanya Manusia
Penulis             : Munif Chatib
Penerbit           : Kaifa (grup Mizan)
Tahun              :  2012
Hal                  : 212 halaman
Harga              : 65.000

review by Rina Susanti

Secara sadar atau tidak banyak orang tua melabeli anaknya dengan label negatif hanya karena satu dua kali kesalahan yang dilakukan anak. Nakal karena merebut mainan temannya, nakal karena tak mau mengalah dengan adiknya , pemalas hanya karena tidak betah berlama-lama membaca buku, malas karena sulit saat bangun pagi. Dan sederet lebel negatif lain. Sebaliknya, orang tua kerap lupa dengan kemajuan-kemajuan kecil yang sudah dicapai seorang anak. Kemajuan yang sifatnya  afektif seperti menolong teman, memberi makan kucing atau tidak lupa mengucapkan terima kasih.    

Mudahnya pelabelan ini tidak bisa  dilepaskan dari paradigma lama bahwa anak pintar dan hebat identik dengan kepintarannya membaca, menulis dan berhitung. Kepandaian dan kehebatan yang bisa diukur dengan angka alias bersifat kognitif. Angka-angka yang sebenarnya tidak diperlukan saat anak terjun dalam kehidupan sosial untuk mencapai kesuksesan dalam hidup. 

Paradigma in dimulai saat tes IQ (Intelligence Quotient) untuk pertama kalinya di gagas oleh Alfred Binet pada tahun 1905, sebuah tes yang digunakan untuk rekrutmen tentara pada masa perang dunia I yang kemudian digunakan pada masa Revolusi Industri sebagai tes penerimaan karyawan. Dalam perkembangannya tes ini digunakan di sekolah-sekolah dan institusi pendidikan sebagai penentu kecerdasan seorang anak. Tes yang secara tidak langsung mengkatagorikan anak pintar dan anak gagal berdasarkan angka yang didapat. Padahal tes IQ ini hanya mengukur dua kemampuan yaitu kemampuan verbal dan matematis. 

Ilmu psikologi berkembang  dan memunculkan beragam teori kecerdasan.
 
Tahun 1983 Howard Gardner memunculkan teori kecerdasan majemuk yang meliputi kecerdasan linguistic, matematis-logis, visual-spasial, musical, kinestesis, interpersonal, intrapersonal dan naturalis (hal 88). Tahun 1995 Dr. Daniel Goleman memunculkan teori emotional quotient  yaitu kecerdasan seseorang mengatur emosinya  dan Paul G. Stoltz, Ph. D dengan teori adversity quotient yaitu kecerdasan mengatasi kesulitan. Terakhir  kecerdasan spiritual atau spiritual quotient yang di gagas Ian Marshall dan Danah Zohar. 
Teori kecerdasan yang membuktikan bahwa kecerdasan seorang anak tidak bisa diukur dengan angka dan menegaskan jika  semua anak adalah hebat.  Yang kemudian diperlukan adalah kepandaian dan keuletan setiap  orang tua  menemukan, mengarahkan dan memupuk kecerdasan seorang anak .
Lalu kepandaian seperti apa yang diperlukan orang tua untuk menemukan, mengarahkan dan memupuk kecerdasan seorang anak yang diperlukan kelak untuk kehidupannya kelak? Seorang anak yang tumbuh menjadi pribadi berkarakter yang religius, jujur, adil, mandiri, cinta damai, peduli lingkungan dan sederat karakter baik lainnya. Tentunya ilmu pengetahuan caranya menjadi orang tua. Sayangnya hal ini tidak disadari banyak orang tua. Kebanyakan orang tua nekat menjadi orang tua, hanya berbekal pengalaman bagaimana mereka dulu di didik orang tuanya, begitu seterusnya. Padahal ilmu dan teknologi berkembang, beberapa pola asuh lama tidak lagi cukup mempan untuk anak menghadapi tantangan zaman. Ketika teknologi informasi membuka sekat bagi anak untuk mengakses semua hal termasuk hal yang seharusnya dilarang untuk usianya. Salah satunya pornografi yang memberikan dampak negatif lebih berbahaya daripada narkoba bagi seorang anak (hal 196).

Tak ada sekolah untuk menjadi orang tua, tapi begitu banyak buku dan artikel yang ditulis  para ahli untuk menjadi orang tua salah satunya buku Orangtuanya Manusia. Buku ketiga dari Trilogi yang ditulis Munif Chatib, seorang praktisi Parenting, setelah Sekolahnya Manusia (2010) dan Gurunya Manusia (2011) . Judul buku yang menarik dan provokatif sekaligus membuat menelaah kembali  peran orang tua dalam membentuk karakter anak. Kutipan di halaman 145 ini bisa dijadikan cermin yang cocok; pandai, namun tidak punya kepedulian; cerdas, namun tidak bermanfaat buat orang banyak; berpendidikan tinggi, namun tidak punya rasa keadilan. Tak ubahnya seperti robot bukan?

Hal berikut ini yang membedakan orangtuanya manusia dengan orangtua yang secara tidak langsung menjadikan anaknya robot;

Mendidik Anak sesuai Fitrah
Fitrah Ilahiah atau sifat bawaan dari Sang Pecipta, seorang anak cenderung pada kebaikan jika diibaratkan secarik kertas mereka adalah kertas putih. Lingkunganlah yang kemudian memberinya warna dan kecenderungan  pada keburukan. Lingkungan di sini termasuk pengaruh pendidikan dan pola asuh orang tua. 
Dalam buku Orangtuanya Manusia disebutkan   ada tujuh sumber peringai buruk anak yang menyebabkannya  berperilaku buruk yaitu; Melupakan Tuhan, Bangga riya’ dan sombong, tidak bersyukur dan mudah putus asa, kikir dan berkeluh kesah, melampaui batas, tergesa-gesa dan suka membantah. Ketujuh hal di atas bisa dijadikan kerangka acuan orang tua bagaimana  mendidik dan membimbing anak agar terhindar dari perilaku buruk tersebut.
Lingkungan keluarga dan orang tua harus berperan dalam membentuk karakter anak jika tidak anak akan mudah terpengaruh oleh lingkungan lain seperti, teman, pergaulan dan media informasi.
Pembentukan karakter positif anak bisa dimulai dari memberikan apresiasi terhadap kemajuan anak sekecil apapun termasuk pencapaian yang bersifat afektif.  Apresiasi positif akan menumbuhkan rasa percaya diri, empati  dan nilai sebuah penghargaan. 

Menyadari Semua Anak adalah Bintang
Semua anak hebat, pencipta yang Maha Sempurna  yang tidak pernah menciptakan produk gagal. Seorang anak yang dalam kaca mata fisik atau mental di cacat pasti adalah sebuah bintang yang bisa menyinari lingkungannya. Pasti ada kesempurnaan yang dititipkan Tuhan padanya. Banyak kisah bagaimana anak yang dinilai tak sempurna dalam kaca mata manusia memiliki keahlian yang membuatnyanya menjadi Bintang.
Yang pertama harus dimiliki orang tua untuk bisa melihat bakat seorang anak adalah kepekaan dalam melihat kemampuan anak lalu sikap konsisten dalam menilai kemampuan anak dan terakhir adalah membangun konsep diri pada adak bahwa dirinya bisa. Aku bisa!

Menjadi Guru Terbaik untuk Anak
Gaya belajar setiap anak berbeda, tergantung kecenderungan kecerdasannya. Jika anak cerdas linguistic dia akan betah belajar denagn cara membaca. Anak dengan kecerdasan naturalis lebih suka belajar dengan cara mengamati langsung fenomena alam. Anak dengan kecerdasan musik lebih suka belajar sambil mendengarkan musik dan seterusnya. 

Orang tua dituntut paham dengan gaya belajar anak dan bisa mengukur kemampuan anak. Walaupun tidak semua, beberapa orang tua kerap memaksa anak mempelajari banyak hal dengan harapan agar anak pintar. Orang tua tidak mau tahu apakah anak berminat dan mampu menyerap semuanya. Padahal efek pemaksaan ini bisa menyebabkan anak mengalami downshifting yaitu penyusutan kapasitas saraf untuk berpikir rasional. Anak menjadi tidak termotivasi untuk belajar dan stress.

Sikapi banyaknya pekerjaan rumah yang dibebankan pihak sekolah dengan bijak. Jika anak tak mampu jangan sungkan mendiskusikan dengan pihak guru dan sekolah. Disinilah pentingnya memilih sekolah yang tepat. Sekolah yang mempunyai visi dan misi yang sama terhadap anak kita kelak.
Di rumah dan sekolah anak-anak kita dibentuk, menjadi apa mereka kelak. Oramg tua dan guru sama dituntut memiliki ilmu yang cukup untuk menjadi orangtuanya manusia. (rs)

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Sangat bagus dalam penerapan pemahaman kehidupan anak kita

Posting Komentar