Selasa, Agustus 13, 2013

Mengeja Indonesia pada novel Pulang

Judul buku          :  Pulang
Penulis                 : Laela S. Chudori
Penerbit              : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Tahun                  : Februari 2013 (cetakan ke tiga)*
Hal                          : 458  halaman




Mengeja Indonesia pada novel Pulang
Resensor : Rina Susanti

Pulang adalah sebuah novel dengan latar belakang tragedi politik 30 september 1965, Prancis Mei 1968, dan reformasi Mei 1998. Nuansa drama keluarga dalam novel ini sangat kental dan terasa hingga akhir cerita.

Cerita berawal ketika Dimas Suryo ditugaskan menjadi wakil di  Konferensi Wartawan di Santiago Cile bersama rekannya Nugroho. Rekan kerjanya yang lain  Risjaf di kirim ke Havana untuk menghadiri Konferensi Organisasi Asia Afrika. Ketiganya janji bertemu di Havana sebelum melanjutkan perjalanan ke Peking bertemu rekan yang lain, bernama Tjai, untuk menghadiri Konferensi Wartawan Asia Afrika.
Belum sempat Dimas Suryo dan kawan-kawan  menginjakkan kakinya ke Havana, tersiar kabar bahwa telah terjadi penculikan dan pembunuhan terhadap dewan Jenderal di Tanah Air. Disusul menangkapan besar-besaran terhadap anggota dan simpatisan  Partai Komunis Indonesia termasuk teman, saudara dan keluarganya. Dimas Suryo dan kawan-kawannya termasuk dalam daftar orang yang diburu bukan karena terlibat dalam peristiwa 30 september tapi karena Harian Berita Nusantara, tempat mereka bekerja, dinilai kiri. Tak lama berselang datang sebuah kabar jika Hananto,  Dewan Redaksi Harian Berita Nusantara  ditangkap.

Melalui surat yang dikirim Aji Suryo dan  putri sulung  Hananto, Dimas dan kawan-kawan menjadi tahu situasi di tanah air yang sebenarnya. Situasi yang membuat mereka tidak bisa pulang .
Tjai berhasil memboyong keluarganya ke Prancis, sedangkan Nugroho harus berlapang dada menerima gugatan cerai dari istrinya di tanah air. Dimas dan Risjaf yang masih bujangan akhirnya menemukan jodohnya di Prancis. Dimas menikah dengan perempuan Prancis   Vivienne Deveraux.

Melanjutkan hidup di negeri orang tanpa  kejelasan kapan bisa pulang ke Tanah Air bukan hal mudah. Sulitnya mendapat pekerjaan yang cocok, gerak-gerak mereka yang selalu diawasi karena mereka tetap menyandang sebutan eks tapol walaupun jauh dari tanah air.Terlebih bagi Dimas, dimana sebenarnya hatinya selalu tersisa untuk seorang perempuan di tanah air, Surti, istri Hananto yang tak lain adalah bekas pacarnya.

Namun  Prancis tetaplah tanah yang asing, bukan tanah milik sendiri, seperti  yang dirasakan Dimas Suryo. Mengapa aku  tetap merasa ada sepotong dari diriku yang tertinggal di tanah air? (hal 87). Dimas Suryo selalu berharap bisa pulang dan kelak bersemayam di Karet, seperti penulis puisi Chairil Anwar.
Di tahun ke  17  tinggal di Prancis, Dimas Suryo dan kawan-kawan mendirikan Restoran Tanah air, restoran yang khusus menjual makanan khas Indonesia. Berlahan tapi pasti Kehadiran Restoran Tanah Air terkenal bukan hanya di Prancis tapi sampai ke Indonesia.

Pulang memang sekedar novel fiksi namun mendeskripsikan dengan sangat  baik  situasi saat dan pasca tragedi politik berlangsung serta pergulatan emosi dan batin   orang – orang yang terlibat di dalamnya. Orang-orang tak berdosa yang menjadi korban.  Seperti  Dimas Suryo, yang  bukan anggota partai atau simpatisan. Dia hanya seorang yang mengagumi teori Karl Max namun melihat banyak kelemahan dalam teori itu jika diterapkan dalam pemerintahan. Kenapa kita harus bergabung dengan salah satu kelompok hanya untuk menunjukkan sebuah keyakinan? Lagipula, apakah mungkin keyakinan kita itu sesuatu yang tunggal? Sosialisme, komunisme, kapitalisme, apakah paham-paham ini harus ditelan secara bulat tanpa ada keraguan? Tanpa rasa kritis? (hal 33)

Tak hanya itu keluarga yang tak tahu menahu ikut terseret dan  anak-anak yang harus menyaksikan bagaimana orang tua dan keluarga mereka di intimidasi dan di deskriminasi selama puluhan tahun. Anak – anak yang tumbuh dalam ketakutan dan memberontak terhadap keadaan dengan cara melawan atau memilih menutup diri dan menyembunyikan identitas dirinya. Bahkan anak-anak  yang lahir jauh setelah tragedi politik itu pun mewariskan  dan mendapatkan diskriminasi. Seperti yang dialami Lintang Utara, buah pernikahan Dimas Suryo dengan perempuan Prancis,  Vivienne Deveraux. Padahal Indonesia bagi Lintang hanya sebuah tanah yang mengirim aroma cengkih dan kesedihan yang sia-sia. Sebuah tanah yang subur oleh begitu banyak tumbuh-tumbuhan, yang melahirkan aneka warna, bentuk, dan keimanan, tetapi malah menghantam warganya hanya karena perbedaan pemikiran (hal 137)

Namun tanpa di duga, tugas skripsi Lintang mengenai dokumenter politik Indonesia     memaksanya mengunjungi  Indonesia tepat saat  suhu Jakarta memanas.  Reformasi yang dilakukan ribuan mahasiswa dan tokoh masyarakat yang menginginkan perubahan, Mei 1998.

Novel ini dibumbui drama percintaan, cinta segitiga, pengkhiatan dan persahabatan. Dengan kepiawaian Leila S. Chudori dalam   meramu dan mengolah kata yang sudah tidak diragukan lagi, membaca buku ini   seperti menonton karena deskripsi yang  cukup detail dengan bahasa yang mengalir dan bernas.  Seperti pengakuannya novel ini dibuat dengan riset dan wawancara terhadap orang yang terlibat langsung pada peristiwa jadi  tak heran walaupun sebatas fiksi terasa nyata.

Membaca Pulang  sama dengan  mengeja luka sejarah bangsa ini. Luka yang mungkin tidak bisa disembuhkan namun menjadi pembelajaran bahwa perbedaan pemikiran tak seharusnya menimbulkan pertumpahan darah.(rs)


*cetakan pertama Desember 2012